© Copyright 2025, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Implementasi Penanganan Barang Bukti Elektronik dan Penerapan Alat Bukti Elektronik Dalam Penyidikan Tindak Pidana Perikanan

Senin, 21 Juli 2025


 

Oleh

Sherief Maronie, S.H., M.H.

Analis Hukum Muda pada Direktorat Penanganan Pelanggaran, Ditjen PSDKP, KKP

 

Alat bukti elektronik berupa informasi dan dokumen elektronik telah diakui sebagai alat bukti yang sah dalam pembuktian di pengadilan hal ini berdasarkan UU ITE. PPNS Ditjen PSDKP, dalam kurun waktu tahun 2023-2025 telah melaksanakan penanganan barang bukti elektronik untuk 9 (sembilan) perkara tindak pidana perikanan, dari sembilan perkara tersebut telah ada 8 (enam) perkara yang menerapkan alat bukti elektronik. Hal ini merupakan respon atas perkembangan teknologi dan perubahan paradigma penyidikan, PPNS Ditjen PSDKP terus mengembangkan keterampilan dan pengetahuan untuk presisi dan efektif dalam mengungkap tindakan pidana perikanan di era digital. Dengan kerja sama yang erat antara ahli digital forensik, lembaga penegak hukum, dan pihak berwenang lainnya, penggunaan alat bukti elektronik dihadirkan sebagai upaya mengungkap penerima manfaat atau intelectual dader tindak pidana perikanan.

Pendahuluan

Pembuktian merupakan bagian terpenting dalam hukum acara pidana, yang dimulai dari tahap penyelidikan hingga persidangan. Esensi dari pembuktian untuk menemukan keberana materil atau kebenaran yang sesungguhnya tentang terjadinya suatu tindak pidana dan siapa yang bersalah agar hakim dapat meyakini dalam memutuskan perkara pidana. Hal ini sejalan dengan asas pidana yaitu Asas in criminalibus probationes debent esse luce clariores yang seringkali diartikan bahwa dalam pidana bukti-bukti harus lebih terang dari cahaya.

 

Sistem pembuktian di Indonesia dalam lingkup hukum pidana, menganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif atau dikenal dengan negatief wettelijke bewijstheorie. Ini berarti pembuktian harus berdasarkan undang-undang, dalam hal ini Pasal 184 KUHAP, dan hakim harus memperoleh keyakinan atas dua alat bukti yang sah untuk membuktikan adanya tindak pidana dan keterlibatan terdakwa. Pasal 184 KUHAP ini menjadi landasan hukum utama dalam sistem pembuktian pidana di Indonesia, menegaskan bahwa pembuktian harus didasarkan pada alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

 

Perkembangan teknologi merupakan suatu faktor yang tidak dapat dihindari pengaruhnya bagi kehidupan manusia karena perkembangan teknologi sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pada hakikatnya teknologi diciptakan untuk memudahkan aktivitas manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Perkembangan internet, komunikasi elektronik, dan penympinan data digital telah mengubah cara kita berinteraksi dan berkomunikasi. Atas perkembangan teknologi ini tentunya sistem hukum harus beradaptasi, sebagai respon atas kondisi ini maka terbitlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 (UU ITE). Dalam UU ITE proses pembuktian telah mengikuti perkembangan zaman  karena telah diakuinya alat bukti elektronik dalam persidangan sepanjang memenuhi syarat formil dan materil sebagaimana  diatur dalam UU ITE.

 

Sebelum berlakunya UU ITE para ahli hukum berbeda pandangan soal keberadaan dan kekuatan bukti elektronik (digital evidence): apakah dianggap sebagai alat bukti atau barang bukti?  Pada prinsipnya, alat bukti adalah segala sesuatu yang digunakan dalam rangka pembuktian sebagaimana dalam Pasal 184 KUHAP. Keberadaannya menimbulkan keyakinan hakim atas suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadap terdakwa. Di sisi lain, barang bukti bertujuan untuk mendukung pembuktian dan menerangkan suatu kejadian sebagaimana pendapat Prof.Eddy O.S. Hiariej.

 

Sejak UU ITE berlaku, informasi elektronik, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya (bukti elektronik) dianggap sebagai perluasan dari alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE. Alat bukti elektronik termasuk sebagai alat bukti selain yang diatur terbatas dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta undang-undang pidana khusus lainnya.

 

Meskipun telah diatur secara tegas sebagai perluasan alat bukti dalam hukum acara pidana, sebagian praktisi hukum berpandangan lain. Bukti elektronik dianggap alat bukti elektronik hanya dalam tindak pidana dalam UU ITE serta tindak pidana tertentu yang mengatur secara khusus tentang bukti elektronik sebagai alat bukti. Sebagai contoh, Pasal 26A Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang tentang Narkotika (UU Narkotika), Pasal 29  Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO), dan undang-undang lainnya.  Khusus terkait dengan tindak pidana perikanan tidak diatur secara jelas.

 

Terlepas dari perdebatan tersebut, yang terpenting dalam hal ini yaitu mengenai keabsahan alat bukti elektronik dalam persidangan. Pada dasarnya alat bukti elektronik yang telah diatur dalam UU ITE merupakan alat bukti yang sah dan memiliki nilai pembuktian yang sama dengan alat bukti lainnya yang ada dalam KUHAP. Permasalahan yang muncul dalam praktik adalah sejauh mana alat bukti elektronik dapat diterima di persidangan mengingat sifatnya yang volatile atau rapuh, mudah berubah, mudah rusak, sehingga pokok masalah alat bukti elektronik yang terjadi yaitu pada validitas (keabsahan) alat bukti elektronik tetapi lebih kepada admisibilitas (penerimaan) bukti elektronik dalam suatu pembuktian perkara di persidangan.

 

Kedudukan Alat Bukti Elektronik

Menurut Eddy Hiariej berdasarkan Pasal 5 UU ITE bahwa alat bukti informasi dan dokumen elektronik serta hasil cetaknya merupakan perluasan Pasal 184 KUHAP. Menurutnya tidak perlu lagi dipertentangkan apakah alat bukti elektronik berupa informasi dan dokumen elektronik serta hasil cetaknya merupakan perluasan alat bukti surat ataupun alat bukti petunjuk karena pada dasarnya alat bukti informasi elektronik dan hasil cetaknya merupakan penambahan alat bukti baru selain yang ada dalam UU ITE. Jadi alat bukti dalam pembuktian perkara pidana saat ini terdiri dari lima alat bukti yang diatur pada Pasal 184 KUHAP dan Pasal 5 UU ITE, yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, dan informasi dan dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya.

 

Sejatinya UU ITE sebagai referensi utama alat bukti elektronik mengatur terkait alat bukti elektronik berupa informasi elektronik dan dokumen elektronik. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan definisi Dokumen Elektronik dalam UU ITE adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

 

Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar informasi dan dokumen elektronik memenuhi ketentuan sebagai alat bukti elektronik yang sah menurut hukum yaitu dipenuhinya syaraf formil dan syarat materil. Syarat formil diatur pada Pasal 5 ayat (1) dan (4) UU ITE yaitu bahwa informasi atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah kecuali diatur lain dalam undang-undang. Sedangkan syarat materilnya yaitu sebagaimana diatur pada Pasal 6, Pasal 15 dan Pasal 16 UU ITE yang pada intinya informasi atau dokumen elektronik harus didadapat dijamin keautentikannya, keutahannya dan ketersediannya.

 

Keabsahan Barang Bukti Elektronik

Pada prinsipnya untuk dapat diakui sebagai barang bukti yang sah di pengadilan, barang bukti tersebut secara sah dan perolehannya dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Untuk itu terdapat pengaturan terkait kewenangan penyidikan agar dapat memperoleh barang bukti beserta prosedurnya. Karakteristik bukti elektronik berbeda dengan bukti fisk sebagaimana dijelaskan dalam KUHAP. Bukti elektronik mempunyai karaterisitik yang khas yaitu tidak terlihat, sangat rapuh karena mudah berubah, mudah rusak karena senstifif terahdap waktu, dan mudah dimusnahkan atau dimodifikasi (rekayasa). Selain itu, bukti elektronik dapat berpindah dengan mudah, serta jika akan melihat atau membacanya memerlukan bantuan alat baik berupa perangkat kerja (hardware) atau perangkat lunak (software). 

 

Ada beberapa macam barang bukti elektronik, antara lain komputer/pc/desktop, laptop/ netbook/ tablet, server, handphone dan sim card, memory card/sd/mmc, hardisk/external hdd/flash, cd/dvd, printer/mesin fax/ scanner, modem, gps, server/mainframe, dan card reader/writer. Sedangkan barang bukti digital berupa digital communication (email, postingan sosial media), digital storage (cloud accounts), lokasi perangkat, data histori penggunaan internet, data yang dibuat oleh user dan disimpat dalam laptop/komputer, foto, video, music, contacts, kalender, dan aplikasi yang diinstal dan data yang tersimpan didalamnya. Adapun kategori bukti digital berupa dokumen (doc, pdf, xls, dll), video (avi, mp4, 3gp, dll), gambar (jpg, jpeg), transaction file (contacts, sms, brwosing, history, location, dll), database file (dbs).

 

Prinsip penanganan barang bukti digital, yaitu:

  • tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum tidak boleh mengubah data yang ada dalam sebuah komputer atau media penyimpanan lain yang akandigunakan dalam pemeriksaan di peradilan;

  • dalam hal penyidik harus mengakses data pada komputer atau media penyimpanan yang akan menjadi bukti penyidik yang melakukan harus dapat memberikan penjelasan yang relevan atas tindakan yang dilakukan dan implikasi dari tindakannya tersebut

  • catatan atas segala tindakan yang dilakukan terhadap bukti digital harus dibuat oleh penyidik Pengujian oleh pihak lain yang independen dengan menggunakan metodologi yang sama harus menghasilkan hasil yang sama juga; dan

  • Penyidik bertanggung jawab penuh atas dipenuhinya aturan hukum dan prinsip penanganan bukti digital

 

Diperlukannya prinsip-prinsip penanganan barang bukti di atas, hal ini sebagai pemenuhan syarat materil pengajuan alat bukti elektronik yang pada intinya informasi atau dokumen elektronik harus didadapat dijamin keautentikannya, keutahannya dan ketersediannya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil dimaksud maka dibutuhkan ahli digital forensik dan pendokumentasian rantai barang bukti atau dikenal dengan istilah chains of custody yang merupakan suatu rangkaian proses dalam rangka menjaga dan memelihara setiap tindakan yang dilakukan terhadap barang bukti elektronik. Pendokumentasian ini dlakukan di setiap tindakan mulai dari proses pengambilan, pengumpulan hingga proses akhir dengan tujuan agar informasi elektronik yang tersimpan dalam media penyimpanan tetap ada dan terjaga keutuhannya hingga dibawa ke pengadilan untuk dijadikan sebagai alat bukti elektronik, serta dapat dipertanggungjawabkan asal-usul dan sumbernya khususnya mencegah kemungkinan adanya rekayasa data digital. Selain itu dibutuhkan pemahaman penyidik terkait Digital Evidance First Responder (DEFR) yang didukung dengan fasilitas laboratorium digital. 

 

Penanganan Barang Bukti Elektronik dan Penggunaan Alat Bukti Elektronik Dalam Penyidikan Tindak Pidana Perikanan Oleh PPNS Ditjen PSDKP

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PPNS Ditjen PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam kurun waktu tahun 2023-2025 telah melaksanakan penanganan barang bukti elektronik untuk 9 (sembilan) perkara tindak pidana perikanan, dari sembilan perkara tersebut telah ada 8 (enam) perkara yang menerapkan alat bukti elektronik yaitu pada perkara penangkapan ikan ilegal oleh kapal perikanan asing PSF 2500 di Batam, kapal perikanan asing MV. Run Zeng 03 beserta 2 (dua) kapal perikanan Indonesia di Tual, serta 4 (empat) kasus benih bening lobster (BBL) di Pangandaran, Denpasar, Jakarta dan Lampung. Sedangkan 1 (satu) perkara hanya menangani terkait barang bukti elektronik tetapi tidak dijadikan sebagai alat bukti elektronik yaitu pada perkara pemalsuan dokumen di Pati.

 

Pada perkara kapal perikanan asing PSF 2500 di Batam tahun 2024 dengan tersangka Nakhoda atas nama Min Tun alias Nai Thin Tun warga negara Myanmar, PPNS Ditjen PSDKP menggunakan alat bukti elektronik berupa 9 (sembilan) dokumen elektronik terdiri dari 6 (enam) dokumen elektronik berupa foto dengan jenis file jpg dan 3 (tiga) dokumen elektronik berupa video dengan jenis file mp4. Dari kesembilan dokumen elektronik dimaksud, diperoleh informasi elektronik yang menerangkan kapal perikanan asing PSF 2500 melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia (WPPNRI). Adapun alat bukti elektronik yang diajukan oleh Tim PPNS Ditjen PSDKP dipergunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat  Dakwaan dan Surat Penuntutan karena dinilai dapat memperkuat unsur pasal yang disangkakan, selanjutnya dalam putusan perkara, Majelis Hakim Pengadilan Perikanan Tanjung Pinang mengakui keberadaan alat bukti elektronik yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Perkara ini merupakan pembuka penggunaan alat bukti elektronik oleh PPNS Ditjen PSDKP sebagai bentuk komitmen dari Ditjen PSDKP untuk selalu melakukan inovasi dalam pelaksanaan penegakan hukum. Namun pada perkara ini, masih ada kelemahan utamanya terkait dengan penanganan barang bukti dan digital evidance, PPNS Ditjen PSDKP belum menerapkan chain of custody dan tidak menggunakan Ahli Digital Forensik.

 

Selanjutnya pada perkara kapal perikanan asing MV. Run Zeng 03 beserta 2 (dua) kapal perikanan Indonesia di Tual yang dilaksanakan penyidikan pada bulan April sampai dengan Juli 2024. Pada perkara ini disajikan 102 (seratus dua) file foto, 110 file video yang diambil dari HP Tersangka yang merupakan Nakhoda MV. Run Zeng 03, dan 21 file video dari cctv kapal. dari dokumen-dokumen elektonik dimaksud diperoleh informasi elektronik yang menerangkan aktifitas di atas kapal perikanan asing MV. Run Zeng 03 yang melakukan kegiatan proses penangkapan ikan dan pengangkutan ikan ke kapal lain selama periode Januari sampai dengan April 2024. Pada perkara ini PPNS Ditjen PSDKP telah menerapkan DEFR dan CoC dengan baik, serta menggunakan Ahli Digital Forensik yang didukung dengan alat bukti surat berupa hasil analisa Ahli Digital Forensik dan keterangan Ahli Digital Forensik. Adapun alat yang digunakan oleh Ahli Digital Forensik untuk mengekstraksi data handphone menggunakan Oxygen Forensic Detective yang merupakan perangkat lunak digital forensik digunakan untuk menyelidiki dan menganalisis data dari berbagai perangkat digital, termasuk perangkat seluler, cadangan perangkat, dan layanan cloud. Alat ini memiliki kemampuan ekstraksi data, analisis data, dan tampilan data, serta dapat mengekstrak data dari berbagai format seperti iTunes, Android, dan JTAG. 

 

Untuk 4 (empat) perkara benih bening lobster (BBL) di Pangandaran, Denpasar, Jakarta dan Lampung, PPNS Ditjen PSDKP juga telah menggunakan alat bukti elektronik dalam pembuktiannya yang mayoritas berupa percakapan melalui aplikasi whatsapp yang dituangkan dalam dokumen screenshoot untuk mengungkap pihak-pihak yang terlibat, intelectual dader, dan beneficial owner atau penerima manfaat. Penerapan DEFR telah dilaksanakan dengan baik dengan cara menanyakan kepada pemilik kata sandi untuk membuka handphone, mematikan semua keamanan pada handphone, flight mode handphone, dan mematikan handphone sebelum diserahkan kepada Ahli Digital Forensik. CoC juga telah dilaksanakan dengan rapih dengan mendokumentasikan setiap tahapan kegiatan. Pada keempat perkara BBL Ilegal ini, Ahli Forensik menggunakan alat mobile forensics berupa Cellebrite Touch 3 yang juga merupakan aset dari Ditjen PSDKP.

 

Meskipun PPNS Ditjen PSDKP telah menerapkan penanganan barang bukti elektronik dan penggunaan alat bukti elektronik sebagai pembuktian pidana, namun ada beberapa hal yang masih menjadi kendala dalam pelaksanannya. 

Permasalahan yang pertama terkait dengan kapasitas atau kemampuan sumber daya manusia PPNS Ditjen PSDKP, perkara yang telah ditangani tersebut masih melibatkan tim penyidik dari Direktorat Penanganan Pelanggaran, tim penyidik yang berasal dari UPT Ditjen PSDKP belum mampu secara mandiri untuk menerapkan penggunaan alat bukti elektronik yang implementasinya dituangkan dalam resume perkara. Untuk mengatasi adanya kesejangan kapasitas SDM ini, maka Ditjen PSDKP bersama Rekam Nusantara Foundation pada tahun 2024 dan 2025 telah melaksanakan pelatihan Peningkatan Kapasitas PPNS terkait dengan penanganan barang bukti dan penerapan alat bukti elektronik. Diharapkan melalui kegiatan ini PPNS Ditjen PSDKP yang berada di UPT Ditjen PSDKP dapat secara mandiri melaksanakan penyidikan dengan menggunakan alat bukti elektronik.

 

Permasalahan yang kedua yaitu terkait dengan DEFR dan CoC, kedua hal ini belum diakomodir dalam petunjuk teknis penyidikan, sebaiknya mekanisme DEFR dan COC dituangkan masuk ke dalam juknis penyidikan tindak pidana perikanan. Selain itu diperlukan pembentukan Tim Satuan Khusus Penanganan Pertama Bukti Elektronik (DEFR) Ditjen PSDKP melalui SK Dirjen PSDKP.

 

Permasalahan yang ketiga yaitu terkait Ditjen PSDKP belum memiliki fasiltas Laboratorium Forensik, dibutuhkan pengadaan Laboratorium Forensik Digital sesuai SNI ISO/IEC 17025, hal ini sebagai justifikasi bahwa Ditjen PSDKP dapat mengelola secara mandiri digital forensik. Saat ini Ditjen PSDKP mempunyai mitra Ahli Digital Forensik yang berasal dari Rekam Nusantara Foundation dan terkait alat digital forensik, Ditjen PSDKP memiliki 2 (dua) alat Cellebrite Touch 3.

 

Kesimpulan

Alat bukti elektronik berupa informasi dan dokumen elektronik telah diakui sebagai alat bukti yang sah dalam pembuktian di pengadilan hal ini berdasarkan UU ITE. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar informasi dan dokumen elektronik memenuhi ketentuan sebagai alat bukti elektronik yang sah menurut hukum yaitu dipenuhinya syaraf formil dan syarat materil. Syarat formil diatur pada Pasal 5 ayat (1) dan (4) UU ITE dan syarat materilnya diatur pada Pasal 6, Pasal 15 dan Pasal 16 UU ITE yang pada intinya informasi atau dokumen elektronik harus didadapat dijamin keautentikannya, keutahannya dan ketersediannya.

 

PPNS Ditjen PSDKP, dalam kurun waktu tahun 2023-2025 telah melaksanakan penanganan barang bukti elektronik untuk 9 (sembilan) perkara tindak pidana perikanan, dari sembilan perkara tersebut telah ada 8 (enam) perkara yang menerapkan alat bukti elektronik. Hal ini merupakan respon atas perkembangan teknologi dan perubahan paradigma penyidikan, PPNS Ditjen PSDKP terus mengembangkan keterampilan dan pengetahuan untuk presisi dan efektif dalam mengungkap tindakan pidana perikanan di era digital. Dengan kerja sama yang erat antara ahli digital forensik, lembaga penegak hukum, dan pihak berwenang lainnya, penggunaan alat bukti elektronik dihadirkan sebagai upaya mengungkap penerima manfaat atau intelectual dader tindak pidana perikanan.





DAFTAR PUSTAKA

 

Mardjono Reksodiputro, 1997, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta.

Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Jakarta.

Eddy Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta.

Harli Siregar dan Sakafa Gurafa, 2023, Admisibilitas Bukti Elektronik Dalam Persidangan, Rajawali Pers, Depok 

Dit Siber Bareskrim Polri, paparan Penanganan Alat Bukti dan Barang Bukti Elektronik pada Kasus Tindak Pidana, disampaikan pada pelatihan Peningkatan Kapasitas PPNS Ditjen PSDKP, Mei 2025.

Dit Siber Bareskrim Polri, paparan Digital Forensic, Mobile Forensic dan Computer Forensic, disampaikan pada pelatihan Peningkatan Kapasitas PPNS Ditjen PSDKP, Mei 2025.

Sumber:

Sherief Maronie, S.H., M.H.

Accessible Control
cursor Bigger Cursor
brightness Brightness
contrast Contrast
monochrome Grayscale
revert Undo Changes
Logo Logo
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

JL. Medan Merdeka Timur No.16 Jakarta Pusat

Telp. (021) 3519070 EXT. 7433 – Fax. (021) 3864293

Email: humas.kkp@kkp.go.id

Call Center KKP: 141

Media Sosial

Pengunjung

1 2
© Copyright 2025, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia