PENGAWASAN PENANGKAPAN KERANG DAN GURITA DI TANJUNGBALAI ASAHAN SUMATERA UTARA

Rabu, 13 Mei 2020 | 0:0:0 WIB

PENGAWASAN PENANGKAPAN KERANG DAN GURITA DI TANJUNGBALAI ASAHAN

SUMATERA UTARA

 

Tanjungbalai kota kerang, inilah merupakan julukan yang sangat terkenal dari kota yang terletak di pantai Timur Sumatera Utara ini. Julukan kota kerang sudah mendarah daging bagi seluruh masyarakat Tanjungbalai dan bahkan motif kerang telah dijadikan desain salah satu bangunan bersejarah di Tanjungbalai yaitu alun-alun yang sering disebut lapangan pasir. Setiap akhir tahun, diadakan Pesta Kerang pada saat memperingati Hari Ulang Tahun Kota Tanjungbalai.

 

Gambar 1. Alun-alun Kota Tanjungbalai

 

Perikanan kerang masih tetap menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi sebagian nelayan Tanjungbalai Asahan. Pemerintah daerah juga berusaha mendukung perikanan kerang agar julukan kota kerang tidak pudar.  Jenis alat yang umumnya digunakan untuk menangkap kerang adalah penggaruk, baik penggaruk tanpa kapal maupun yang berkapal. Penggaruk berkapal terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu penggaruk berukuran kecil (biasanya disebut tojok) dan penggaruk besar (biasanya disebut tank). Tojok kerang umumnya dioperasikan menggunakan kapal kecil (mesin tempel) dimana penggaruk ditarik oleh kapal  dengan tongkat kayu berukuran 4 – 5 meter dan dibantu oleh tangan manusia.

 

Gambar 2. Tojok Kerang

 

Alat tangkap tank kerang berukuran jauh lebih besar daripada tojok, yaitu panjang 2 m,  lebar 1.5 m, dan tinggi 25 cm. Pada bagian depan terdapat bukaan mulut yang terbuat dari bahan besi. Seluruh bahan tank kerang ini terbuat dari besi, termasuk anyaman dibuat dari  besi dengan jarak antar jeruji sekitar 1 – 1.5 inci. Kapal yang mengoperasikan tank kerang ini juga relatif lebih besar dibandingkan kapal tojok. Alat dioperasikan secara aktif menyapu dasar perairan.

 

Gambar 3. Tank Kerang

 

Sesuai dengan sifat alat tangkap dan jenis ikan yang menjadi target penangkapan, penggaruk dioperasikan secara aktif menyapu dasar perairan, sehingga dalam penggunaannya sering berbenturan dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap lainnya. Konflik yang paling sering terjadi di Tanjungbalai Asahan adalah adanya konflik antara nelayan kerang dengan nelayan bubu gurita.

 

Alat tangkap bubu gurita (biasanya disebut tangkul gurita) merupakan jenis alat tangkap perangkap ikan yang ditujukan untuk menangkap gurita. Alat ini dipasang di dasar perairan dan bersifat pasif. Pengoperasian dilakukan dengan memasang (setting) dan mengangkat bubu (hauling). Pengangkatan bubu dilakukan setiap hari untuk mengambil hasil tangkapan. Setelah hasil tangkapan selesai diambil, alat kembali diturunkan, sehingga secara tidak langsung alat ini berada di perairan sepanjang waktu.

 

 

Gambar 4. Bubu (Tangkul) Gurita

 

Konflik sering terjadi ketika kapal kerang (baik tojok maupun tank)  yang melakukan penangkapan secara tidak sengaja mengenai bubu gurita dan menyebabkan kerusakan. Kerusakan ini menimbulkan kerugian bagi nelayan pemilik bubu tersebut. Hal ini memicu emosi dan rasa tidak terima sehingga terjadi perselisihan. Selama ini, penanganan konflik yang dilakukan adalah dengan jalan damai. Aparat kepolisian sudah berulang kali memediasi kedua belah pihak ketika terjadi konflik. Pemerintah daerah, baik Kota Tanjungbalai dan Kabupaten Asahan juga berusaha melalui berbagai cara, seperti mengadakan rapat dengan seluruh instansi terkait termasuk Satuan PSDKP Asahan. Pemerintah propinsi Sumatera Utara juga sudah melakukan beberapa kali pertemuan untuk menyelesaikan permasalahan ini.

 

Sesuai dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, kedua alat ini sama-sama diperbolehkan. Penggaruk kerang berkapal diperbolehkan menangkap di jalur IB (2 mil ke atas), sedangkan bubu gurita diperbolehkan menangkap pada semua jalur penangkapan ikan. Fakta di lapangan, bubu gurita dioperasikan di jalur IA dan IB. Sedangkan nelayan kerang, menangkap di jalur IB atau bahkan jika air pasang bisa masuk ke IA. Nelayan kerang melakukan penangkapan di jalur ini karena kerang yang menjadi target tangkapan berada di di tempat yang tidak terlalu jauh dari pantai. Menangkap pada lokasi yang sama dengan sifat alat yang berbeda inilah yang menyebabkan terjadinya konflik.

 

Pengawas perikanan dari Satuan PSDKP Asahan juga selalu dilibatkan dalam proses mediasi ataupun pertemuan/rapat dengan pemerintah daerah. Pada berbagai pertemuan, PSDKP berusaha menjelaskan bagaimana aturan terhadap kedua jenis alat tangkap ini. Namun, mengingat sebagian besar nelayan kerang dan gurita adalah nelayan tradisional, maka penegakan hukum perikanan lebih mengedepankan unsur pembinaan, salah satunya melakukan mediasi ketika terjadi konflik. Namun, penanganan konflik dengan cara mediasi dinilai belum efektif. Masalah yang sama seringkali timbul kembali meskipun sudah ada perjanjian damai yang ditandatangani kedua belah pihak.

 

Selain itu, PSDKP Asahan juga melakukan patrol di perairan yang sering menjadi lokasi konflik. Namun, terbatasnya waktu patroli dan banyaknya kegitan lain yang harus dikerjakan menyebabkan pengawas perikanan tidak bisa setiap hari melaksanakan patroli di lokasi tersebut. Sementara itu, nelayan melakukan penangkapan itu setiap harinya.  Jika hal ini dibiarkan terjadi terus menerus, maka hanya akan menguras tenaga, pikiran, biaya dari semua pihak yang terkait (baik nelayan maupun pemerintah). Oleh sebab itu, diperlukan suatu solusi yang dapat mengakomodir kebutuhan kedua belah pihak.

 

Pada konsep pengelolaan perikanan dikenal suatu sistem pengololaan perikanan Berbasis Masyarakat atau biasa disebut Community Based Fisheries Management (CBFM). CBFM merupakan suatu model pengelolaan dengan memberikan wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri sesuai kebutuhan, keinginan, tujuan, serta aspirasinya. Nijikuluw (2002) menyatakan CBFM dapat dikembangkan oleh pemerintah beserta masyarakat dengan mengakui praktik-praktik pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun dan merupakan adat atau budaya yang dianut. Pemerintah dan masyarakat menghidupkan kembali atau merevitalisasi adat dan budaya masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanan. Dengan kata lain, pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan kearifan lokal masyarakat. Konsep CBFM  memiliki beberapa keunggulan, seperti: kesesuaian dengan aspirasi dan budaya lokal, diterima masyarakat lokal, dan pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan mudah.

 

Konsep CBFM telah banyak diterapkan di berbagai daerah di Indonesia dalam rangka pengelolaan sumber daya laut. Yulindawati (2017) menjelaskan adanya kearifan lokal di Aceh, yang disebut Hukum Adat Laut. Hukum Adat Laut merupakan suatu sistem dan peraturan yang mampu membentuk dan mensinegiskan pemahaman bersama di kalangan para nelayan Aceh untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan secara beretika dan bertanggung jawab. Hukum adat ini dikembangkan berbasis syariah Islam dan mengatur tata cara penangkapan ikan di laut (meupayang), menetapkan waktu penangkapan ikan di laut, melaksanakan ketentuan-ketentuan adat dan mengelola upacara-upacara adat kenelayanan, menyelesaikan perselisihan antar nelayan serta menjadi penghubung antara nelayan dengan penguasa (dulu uleebalang, sekarang pemerintah daerah). Pemimpin  persekutuan adat pengelola Hukum Adat Laut disebut Panglima Laut.

 

Desa Para, Kabupaten Sangihe Talaud, Propinsi Sulawesi Utara memiliki  organisasi tradisional masyarakat yang disebut Seke. Nama seke diambil dari nama sebuah alat tangkap ikan layang yang terbuat  dari tumbuh-tumbuhan lokal. Kelompok seke dalam operasinya menerapkan konsep lokasi penangkapan ikan yang eksklusif, yaitu terdapat kaitan antara satu lokasi dengan satu jenis alat tangkap. Selain itu, terdapat juga pengaturan operasi di tempat-tempat penangkapan yang dilakukan secara bergilir. Jika terjadi pelanggaran lokasi, pihak yang melanggar dikenakan sanksi ganti rugi berupa barang yaitu 5 – 10 zak semen atau uang senilai barang itu. Barang ini nantinya digunakan untuk keperluan pembangunan fasilitas umum yang dibutuhkan di desa Para (Kartika 2010).

 

Kepulauan Lease, Kabupaten Maluku Tengah  memiliki kearifan local yang bernama Pasi. Pasi  berasal dari kata pas atau tepat pada posisi ikan, karena jika tidak tepat atau sesuai dengan posisi, maka nelayan tidak dapat menangkap ikan sesuai jenis yang diharapkan. Nelayan Kepulauan Lease memandang daerah penangkapan ikan (DPI) kakap merah atau pasi sebagai tempat mencari nafkah, sehingga ada ketentuan yang harus ditaati semua nelayan jika berada di pasi. Beberapa hal yang tidak diperkenankan dilaksanakan di pasi diantaranya; (1) tidak boleh membuang sampah dan membuang hajat di pasi, (2) tidak diperkenankan membuat keributan di pasi,  seperti saling merebut DPI, (3) tidak diperkenankan untuk mengeluarkan kata kotor atau cacian di wilayah pasi, (4) penanganan ikan yang sudah tertangkap harus hati-hati agar tidak terjatuh kembali ke laut, dan(5) tidak diperkenankan melakukan penangkapan dengan alat tangkap destruktif seperti pemboman dan pembiusan.

 

Larangan-larangan ini menunjukkan bahwa ada nilai ekologi yang tetap dipertahankan oleh nelayan, yakni menjaga kelestarian ekosistem dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak melakukan penangkapan yang merusak lingkungan (bom dan pembiusan ikan) yang dapat merusak ekosistem kawasan.  Sistem nilai perikanan pasi tersusun dari nilai-nilai yang terpelihara dan mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya ikan. Sistem nilai tersebut mengandung nilai dasar teknologi, sosial, biologi, dan ekologi yang menjamin keberlanjutan sumberdaya. Nilai-nilai tersebut menjadi suatu sistem yang mengarahkan tingkah laku nelayan secara spesifik sebagai pemandu untuk mencapai kepentingan mereka (Matrutty 2014).

 

Beberapa contoh kearifan lokal yang diuraikan di atas dapat dijadikan acuan atau referensi untuk membuat suatu kesepakatan bersama atau kearifan lokal dalam pengelolaan perikanan tradisional di Tanjungbalai Asahan. Julukan kota kerang yang melekat pada kota Tanjungbalai merupakan ciri khas yang layak untuk dipertahankan. Oleh sebab itu, perikanan kerang harus dikelola dan dikembangkan dengan memperhatikan kelestarian dan tentunya tanpa konflik antar nelayan. Bubu gurita, yang merupakan kelompok alat tangkap bubu (perangkap) merupakan salah satu jenis alat penangkap ikan yang ramah lingkungan (Sima 2014) sehingga layak untuk dipertahankan dan dikembangkan. Dengan kata lain, kedua alat ini memiliki keunggulan yang membuat pemerintah harus melestarikannya.

 

Konsep kearifan lokal dapat diinisiasi oleh pemerintah propinsi Sumatera Utara dengan melibatkan seluruh instansi terkait dan tokoh masyarakat. Sebagai contoh misalnya pengaturan waktu penangkapan bubu gurita dan kerang. Dibuat suatu kesepakatan bersama kapan masing-masing alat tersebut beroperasi dan diusahakan tidak bersamaan untuk menghidari konflik. Dari sisi keberlanjutan sumberdaya, pembatasan waktu penangkapan akan memberikan waktu untuk pemulihan (restocking) sumber daya ikan. Kearifan lokal di Tanjungbalai Asahan dapat diperkuat secara hukum melalui peraturan daerah (perda) setempat. Kajian yang dilakukan oleh Oktaviani et al (2016) merekomendasikan bahwa kearifan lokal dapat diperkuat secara hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

 

Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 45 tahun 2009 juga mengakui adanya kearifan lokal. Pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Selanjutnya, pada Pasal 52 disebutkan bahwa pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau menyelenggarakan penelitian dan pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalampengembangan usaha perikanan agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi/budaya lokal. Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal dapat diterapkan tanpa melanggar ketentuan perundang-undangan.

 

Adanya kearifan lokal yang telah disepakati diharapkan dapat ditaati bersama oleh seluruh masyarakat nelayan sehingga pengawasan dapat dilakukan dengan lebih mudah dan efektif. Dengan adanya kearifan lokal, masyarakat nelayan lebih dilibatkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) dan juga kelompok nelayan lainnya dapat  lebih aktif dan bisa menjadi pionir dalam melaksanakan kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan. Oleh sebab itu, pengawasan perikanan dapat berjalan dengan baik meskipun ada keterbatasan waktu dan sumber daya manusia.

 

 

 

 

Oleh : Benardo Nababan, S.Pi, M.Si

(Pengawas Perikanan Muda pada Stasiun PSDKP Belawan Satuan PSDKP Asahan)

 

 


Referensi

Kartika, Selly. 2010. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Ekosistem Di Pantura Barat Provinsi Jawa Tengah (Studi Empiris: Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Brebes).[Skripsi]. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang (ID).

 

Matrutty, DDP. 2014. Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Kakap Merah Berbasis Kearifan Lokal Di Kepulauan Lease Provinsi Maluku. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor(ID).

 

Menteri Kelautan dan Perikanan. 2016. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Jakarta (ID).

 

Nikijuluv, V.PH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta (ID).

 

Oktaviani D, Prianto E, Puspasari R. Penguatan Kearifan Lokal Sebagai Landasan Pengelolaan Perikanan Perairan Umum Daratan di Sumatera. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol.8 No.1 Mei 2016: 1 – 12. Jakarta (ID).

 

Presiden Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta (ID).

 

Sima AM, Djayus Y, Harahap ZA. 2014. Identifikasi Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan di Desa Bagan Asahan Ke-camatan Tanjung Balai. Jurnal Aqua-coastmarine Universitas Sumatera Utara. 4(3): 48-60. Medan (ID).

 

Yulindawati. 2017.  Hukum Adat Laot (Laut) sebagai Kearifan Masyarakat Nelayan Aceh dalam Upaya Melestarikan Potensi Sumberdaya Perikanan Tangkap. Jurnal Dusturiyah Vol VII. No.1. Banda Aceh (ID).

 

 

Sumber:

KKP WEB Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan

Logo Logo
Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan

Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Gd.Mina Bahari 4, Lantai 9-12, Jl.Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, DKI Jakarta

Email: ditjenpsdkp@kkp.go.id

Media Sosial

PENGUNJUNG

55546

© Copyright 2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI