Hak Bermukim Masyarakat Adat, Lokal dan Tradisional di Perairan Pesisir

Rabu, 15 Februari 2023 | 0:0:0 WIB

Sebelum Indonesia merdeka, masyarakat adat, lokal dan tradisional telah lama bermukim di perairan pesisir secara turun-temurun dan berpindah-pindah atau nomaden dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendapatkan sumber makanan baru atau menghindari perubahan musim dan iklim.

Masyarakat adat memiliki 4 unsur pokok, yakni kelompok orang, wilayah hidup, sistem pengetahuan, dan sistem aturan tata kepengurusan kehidupan bersama (Nababan, 2012), sedangkan kehidupan masyarakat lokal tidak bergantung pada sumber daya alam perairan pesisir dan laut. Berbeda dengan masyarakat tradisional yang bergantung pada sumber daya alam di perairan pesisir dan laut, khususnya kegiatan perikanan.

Seiring dengan perkembangan industrialisasi, ilmu pengetahuan dan tekhnologi, mereka menetap lebih lama di permukiman perairan pesisir, mencari nafkah dan berkeluarga yang banyak ditemukan di Provinsi Sulawesi Tenggara, Kepulauan Riau, dan Gorontalo.

Permukiman perairan pesisir belum memiliki legalitas kuat dalam mengalokasikan ruang bagi masyarakat untuk dapat menetap, sehingga rentan digusur atau direalokasi karena belum atau tidak memiliki sertifikat hak atas tanah (HAT). Untuk itu, pemerintah perlu mengkoordinasikan regulasi yang berlaku, dengan tetap menjamin kualitas lingkungan di perairan pesisir.
 

Izin atau Hak

Perbedaan pandangan yang signifikan menjadi dinamis terkait regulasi pemberian sertifikat hak atas tanah permukiman di perairan pesisir berupa surat hak milik (SHM), hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), ataupun hak pakai bagi masyarakat adat, lokal dan tradisional.

Perairan pesisir dan laut bersifat common property atau milik bersama, sehingga jika dimiliki perseorangan atau badan hukum, maka pada saat bersamaan akan mengurangi penguasaan negara terhadap perairan pesisir.

Begitu juga dengan kepentingan stakeholder atau masyarakat lain pada lokasi tersebut menjadi terbatas bahkan terhalangi, yang dapat mengakibatkan konflik antar warga setempat. Mekanisme perizinan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (KKPRL) dianggap lebih tepat dibandingkan pemberian hak dalam pemanfaatan perairan pesisir.

Kondisi tersebut pernah menjadi perhatian masyarakat dan melalui putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) bertentangan dengan UUD 1945 karena dianggap mekanisme pengusahaan perairan pesisir mengurangi hak penguasaan negara atas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Berbeda halnya dengan pemenuhan hidup masyarakat adat, lokal dan tradisional untuk bermukim di perairan pesisir, merupakan wujud keberpihakan negara menjamin tersedianya permukiman layak huni. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat (3) dan pasal 27 ayat (2), bahwa kekayaan sumber daya merupakan milik negara dan dipergunakan bagi kemakmuran rakyat untuk menjamin setiap warga negara mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak.

Sejalan dengan itu, dibutuhkan pengaturan yang bertujuan untuk menata wilayah pesisir dan perairan, yang diatur melalui Permen ATR/KBPN No. 17/2016 pasal (4), PP 18/2021 pasal 65 ayat (2), dan Permen ATR/KBPN No.18 Tahun 2021 pasal (197 dan 198).

Dampak regulasi ini perlu mengantisipasi semakin masifnya masyarakat lokal yang tinggal di daratan pesisir secara bersama-sama mengeksploitasi dan berpindah ke permukiman perairan pesisir, sehingga dibutuhkan koordinasi, pengaturan atau persyaratan yang ketat, disertai mekanisme pengawasan.

Kewajiban yang harus dipenuhi adalah memperoleh perizinan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (KKPRL) dari pemerintah pusat yang berwenang di bidang kelautan dan perikanan, berdasarkan usulan pemerintah daerah pada kawasan permukiman di perairan pesisir yang faktanya telah dihuni turun temurun 5 sampai 20 tahun berturut-turut.

Untuk menjamin pemanfaatan perairan pesisir dapat dikendalikan serta diawasi, maka luasan kawasan dilakukan deliniasi, sekaligus menetapkan pola ruang pada kawasan permukiman pesisir tersebut (eksisting), yang kemudian diakomodir melalui revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebagai arahan lokasi pengembangan kawasan permukiman.

Selanjutnya, pemerintah dapat menerbitkan sertifikasi hak atas tanah di perairan, hanya berupa hak pakai dalam periode tertentu, dan tidak dapat ditingkatkan menjadi SHM, HGU, HGB. Perairan pesisir merupakan aset/milik negara, maka tidak dapat dijaminkan atau diagunkan untuk sumber permodalan, dilarang untuk diperjualbelikan ataupun dialihkan hak atas tanahnya. Sedangkan bangunan permukiman merupakan milik warga setempat.

Penyediaan permukiman perairan pesisir harus berdampak pada peningkatan kesejahteraan, sehingga pemerintah wajib memfasilitasi infrastruktur air bersih, listrik, layanan kesehatan dan sanitasi (mandi, cuci, kakus), agar kesehatan masyarakat adat, lokal dan tradisional terawat dengan baik pada lingkungan perairan pesisir yang berkelanjutan, bersih dan sehat. (*)

Rido Miduk Sugandi Batubara, (Ahli Madya Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir (PELP)Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan).

Sumber:

KKP WEB Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan Dan Ruang Laut

Logo Logo
Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan Dan Ruang Laut
Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Gedung Mina Bahari III Lt. 11, Jl. Medan Merdeka Timur No. 16 Jakarta Pusat DKI Jakarta email : humas.prl@kkp.go.id

Media Sosial

PENGUNJUNG

56202

© Copyright 2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI